Rabu, 18 Januari 2012

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

Oleh: Isrok’atun, S.Pd.Si., M.Pd


Abstrak
Penelitian ini berfokus pada upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa melalui pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD. Penelitian ini dilakukan atas dasar pentingnya kemampuan komunikasi matematik untuk dimiliki siswa, akan tetapi fakta di lapangan kemampuan tersebut masih rendah.
Penelitian eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes-postes ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematik sebagai akibat adanya pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD. Pada kelompok eksperimen, siswa mendapat pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD, sementara pada kelompok kontrol, siswa mendapatkan pembelajaran konvensional. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas XI IPA SMA N 1 Gombong, Kab. Kebumen, Jawa Tengah. Dua kelas dipilih secara acak, satu kelas berperan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas yang lain berperan sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan ada 2 macam, yaitu tes dan nontes. Tes berupa soal-soal komunikasi matematik, sedangkan nontes berupa angket skala sikap.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa: (1) Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif Tipe STAD lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional; (2) Tanggapan siswa terhadap pembelajaran kooperatif Tipe STAD adalah positif.
Kata Kunci: Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD, Eksperimen, Peningkatan, dan Komunikasi Matematik

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

PENDAHULUAN
               Hakikat belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain pada individu belajar. Keberhasilan siswa belajar itu tidak hanya sekadar berhasil belajar, tetapi keberhasilan belajar yang ditempuhnya dengan belajar aktif (Ruseffendi, 1991: 1).
            Kramarski (2000: 168) menyatakan bahwa, aktivitas belajar siswa dalam kelompok kecil memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan komunikasi matematik melalui sejumlah pertanyaan metakognitif yang terfokus pada: (1) sifat permasalahan; (2) membangun pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru; (3) penggunaan strategi yang tepat dalam memecahkan suatu permasalahan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, kemampuan komunikasi siswa masih rendah, belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Rohaeti (2003) dan Purniati (2004), yang menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) rendah.
          Depdiknas (2003: 6) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan, antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta diagram, dalam menjelaskan gagasan. Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik ataupun tabel. Sebagaimana Polla (1999: 1) menyebutkan bahwa, komunikasi menjadi sesuatu yang utama dalam mengajar, menilai, dan pembelajaran matematika. Lim dan Pugalee (2005: 1) juga menyatakan bahwa, bahasa (komunikasi) merupakan komponen penting dalam pemahaman konsep matematika siswa. Menurut Lindquist dan Elliott (1996: 3), komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan mengakses matematika.
               Berpedoman pada pentingnya kemampuan komunikasi matematik, tentunya kita selaku guru (pengajar) harus melakukan suatu terobosan baru. Terobosan baru inilah yang nantinya dapat mengatasi permasalahan tersebut.
                Utari-Sumarmo (2005: 8) mengatakan bahwa, untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik, memupuk kerjasama dan saling menghargai pendapat orang lain, siswa dapat diberi tugas belajar dalam kelompok kecil. Menurut Johnson dan Johnson (Polla, 1999: 3), pembelajaran kooperatif berpotensi membantu para siswa untuk mengembangkan: (1) permasalahan matematik; (2) pemecahan masalah dan pengertian yang mendalam; (3) keyakinan diri. Sehingga untuk tujuan ini, dapat dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif.
              Pembelajaran kooperatif dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif dalam matematika. Pentingnya hubungan antarteman sebaya di dalam ruang kelas tidaklah dapat dipandang remeh. Pengaruh teman sebaya pada pembelajaran kooperatif yang ada di dalam kelas dapat digunakan untuk tujuan-tujuan positif dalam pembelajaran matematika. Para siswa menginginkan teman-teman dalam kelompoknya siap dan produktif di dalam kelas. Dorongan teman untuk mencapai prestasi akademik yang baik adalah salah satu faktor penting dari pembelajaran tersebut.
                 Mengingat pentingnya keberadaan teman sebaya dalam kelompok belajar yang dapat mendorong teman yang lain untuk saling aktif dan produktif di kelas, maka dipilih pembelajaran kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Pada pembelajaran kooperatif Tipe STAD, nilai kelompok merupakan nilai rerata dari nilai kuis tiap-tiap anggota. Sehingga untuk dapat memperoleh nilai kelompok yang baik, seorang siswa akan memotivasi siswa lain (satu kelompok) untuk memperoleh nilai baik. Oleh karena itu, model pembelajaran yang akan diteliti adalah pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.

RUMUSAN MASALAH
                 Dari uraian di atas, maka peneliti merumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif Tipe STAD lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Bagaimana tanggapan siswa terhadap pembelajaran kooperatif Tipe STAD?

KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
               Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap/perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri atas 2 orang atau lebih, untuk memecahkan masalah (Karli dan Yuliariatiningsih, 2000). Masalah yang dialami oleh satu anggota kelompok bukanlah masalahnya sendiri, melainkan masalah kelompok yang menjadi tanggung jawab bersama untuk menyelesaikannya.
Inti dari STAD adalah guru menyampaikan suatu materi, sementara para siswa tergabung dalam kelompoknya yang terdiri atas 4 atau 5 orang untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru.  Selanjutnya, siswa diberi kuis/tes secara individual. Skor hasil kuis/tes tersebut disamping untuk menentukan skor individu juga digunakan untuk menentukan skor kelompoknya.
                   Guru yang menggunakan STAD, mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam satu kelas, dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4 atau 5 orang siswa, setiap kelompok heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
                    Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual, setiap seminggu atau dua minggu sekali siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rerata skor yang lalu. Setiap seminggu, pada suatu lembar penilaian singkat, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis itu.
Dari uraian di atas, maka dapat diringkas, bahwa prosedur atau langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif ada 6 fase (Ibrahim, dkk, 2000; Slavin, 1995). Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci.
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan membangkitkan motivasi
    Poin penting dalam hal ini adalah agar siswa berkemungkinan untuk bekerja ke arah tujuan-tujuan penting dari pelajaran yang telah didiskusikan secara khusus. Sulit bagi siswa untuk melaksanakan suatu tugas dengan baik apabila mereka belumjelas tentang mengapa mereka melakukan kegiatan itu atau apabila kriteria keberhasilan tidak diberitahukan secara terbuka.
2. Menyajikan informasi
   Apabila pembelajaran kooperatif menghendaki siswa untuk membaca suatu teks, maka guru yang berhasil, tidak saja memandang tingkat usia siswa-siswa mereka atau mata pelajaran yang diajarkan, tetapi juga seharusnya mengasumsikan tanggung jawab untuk membantu siswa menjadi pembaca yang lebih baik.
3. Mengorganisasikan dan membantu kelompok belajar
    Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar dan meminta mereka mulai menangani tugas mereka merupakan satu langkah paling sulit bagi guru dalam menggunakan pembelajaran kooperatif. Ini merupakan fase dalam suatu pelajaran pembelajaran kooperatif saat mana dapat terjadi kegaduhan kecuali peralihan direncanakan dan dikelola secara seksama.
4. Mengelola dan membantu kerja kelompok
   Ada suatu aturan untuk diikuti guru selama fase ini dalam suatu pelajaran pembelajaran kooperatif. Ikut campur yang terlampau banyak atau bantuan yang tidak diinginkan dapat mengganggu siswa. Hal ini juga dapat meniadakan kesempatan siswa untuk berinisiatif dan bekerja dengan arahan diri sendiri. Pada saat yang sama, apabila guru menemukan bahwa siswa tidak jelas tentang petunjuk atau mereka tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diberikan, maka guru harus melakukan intervensi dan menawarkan bantuan. Singkatnya, guru perlu memberi siswa bantuan pada saat mereka memerlukannya, namun harus mengenali seberapa penting bantuan itu bagi siswa agar mereka lebih saling bergantung satu sama lain, daripada bergantung pada guru.
5. Menguji penguasaan kelompok atas bahan ajar
    Guru memberikan kuis kepada siswa tentang materi pembelajaran. Butir-butir tes pada kuis ini adalah suatu jenis tes paper and pencil, sehingga butir-butir itu dapat diskor di kelas atau segara setelah tes itu diberikan. Butir-butir tes tersebut berupa soal-soal, berkaitan dengan materi yang baru saja disajikan. Karena struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatifnya, pembelajaran kooperatif memerlukan prosedur pengetesan yang berbeda, dari struktur suatu model yang dibangun berdasarkan pembelajaran kooperatif
Langkah 1 : menetapkan skor dasar.
Setiap siswa diberikan skor berdasarkan skor-skor kuis yang lalu.
Langkah 2 : menghitung skor kuis terkini.
Siswa memperoleh skor untuk kuis yang berkaitan dengan pelajaran terkini.
Langkah 3 : menghitung skor perkembangan.
Siswa mendapatkan skor perkembangan yang besarnya ditentukan apakah skor kuis terkini mereka menyamai atau melampaui skor dasar mereka dengan menggunakan skala sebagai berikut:
Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar……………………………. 0 poin
10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah skor dasar……………. 10 poin
Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar ……………………. 20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar………………………….........30 poin
Pekerjaan sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar) ……….. 30 poin.
6. Memberi penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa
    Hal ini bisa dilaksanakan dengan jalan membuat laporan tertulis dan ditempel di kelas, yang untuk setiap minggunya bisa saja posisi-posisi tersebut mengalami perubahan.
Untuk penentuan dan penghargaan skor kelompok adalah sebagai berikut.
a. Penentuan skor kelompok
   Skor kelompok dihitung dengan menambahkan skor perkembangan tiap-tiap individu anggota kelompok dan membagi dengan jumlah anggota kelompok tersebut.
b. Penghargaan prestasi kelompok
   Tiap-tiap kelompok menerima suatu sertifikat khusus berdasarkan pada sistem poin sebagai berikut:
Skor kelompok Penghargaan
15 Tim Baik
20 Tim Hebat
25 Tim Super

B. Kemampuan Komunikasi Matematik
              Menurut Polla (1999), komunikasi adalah salah satu faktor yang penting dalam proses pembelajaran metematika di dalam atau di luar kelas. Komunikasi memegang peranan penting dalam matematika. NCTM (2000, dalam Priatna, 2003) menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Tanpa komunikasi yang baik, maka perkembangan matematika akan terhambat. Komunikasi menjadi sesuatu yang utama dalam mengajar, menilai, dan dalam pembelajaran matematika.
                 Menurut Sudrajat (2001: 18), kemampuan komunikasi matematik merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: (1) merefleksikan benda-benda nyata, gambar atau ide-ide matematika; (2) membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode oral/lisan, tertulis konkret, grafik, dan aljabar; (3) menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah untuk menginterpretasi dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah serta informasi matematika; (4) merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argumen yang meyakinkan.
Adapun kemampuan yang tergolong dalam komunikasi matematik menurut Utari-Sumarmo (2005: 7), diantaranya adalah:
a. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematika
b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan
c. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika
d. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis
e. Membuat konjektur, merumuskan definisi, dan generalisasi
f. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri
                Peressini dan Bassett (1996) berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam matematika, kita hanya akan sedikit memiliki keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Pendapat ini menyiratkan makna bahwa dengan komunikasi matematik, guru tertolong untuk dapat lebih memahami kemampuan siswa pada saat menginterpretasi dan mengungkapkan pemahamannya tentang ide matematika yang sedang atau telah mereka pelajari selama proses pembelajaran.
Indikator kemampuan komunikasi matematik yang akan diukur dalam penelitian ini adalah, kemampuan siswa untuk dapat menyatakan suatu situasi dengan gambar dan model matematika serta menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tertulis. Sedangkan pedoman penskoran soal-soal komunikasi matematiknya adalah sebagai berikut.


METODE PENELITIAN
               Desain pada penelitian ini adalah desain eksperimen kelompok kontrol pretes-postes (Ruseffendi, 1998; Suharsimi-Arikunto, 1998). Pada kelompok kontrol memperoleh perlakuan berupa pembelajaran konvensional sedangkan kelompok eksperimen memperoleh perlakuan berupa pembelajaran kooperatif Tipe STAD. Pengamatan dilakukan 2 kali yaitu sebelum proses pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes. Secara singkat, desain eksperimen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut.
A 0 X1 0
A 0 X2 0
Keterangan:
X1 = pembelajaran kooperatif Tipe STAD
X2 = pembelajaran konvensional
A = pengambilan sampel secara acak
0 = pretes = postes
(Ruseffendi, 1998: 45-46; Suharsimi-Arikunto, 1998).
              Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMA. Subyek dalam penelitian ini dipilih siswa SMA kelas XI SMA Negeri 1 Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Dari seluruh kelas XI yang ada, dipilih 2 kelas secara acak sebagai sampel penelitian. Dari hasil pemilihan acak ini, terpilih Kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan Kelas XI IPA 2 sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa tes dan nontes. Tes berupa soal-soal komunikasi matematik, yang digunakan pada saat pretes dan postes untuk mengukur kemampuan siswa. Nontes berupa angket skala sikap yang berpedoman pada bentuk Skala Likert. Skala sikap ini digunakan untuk dapat mengungkap respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif Tipe STAD yang telah dilaksanakan di SMA N 1 Gombong, sebagai tempat penelitian.

HASIL PENELITIAN
               Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu dimulai dari pelaksanaan pretes, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan postes. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada semester 1 di kelas XI, SMA Negeri 1 Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dari tanggal 11 Agustus 2006 sampai tanggal 22 September 2006.
            Sebelum pelaksanaan pembelajaran, terlebih dahulu dilakukan pretes, adapun hasilnya adalah sebagai berikut.
                Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua kelas, yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol, mempunyai kemampuan komunikasi matematik awal yang sama. Hasil tersebut mengisyaratkan, bahwa adanya perlakuan pembelajaran matematika konvensional pada kelas kontrol dan perlakuan pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD pada kelas eksperimen, berangkat dari situasi kelas yang sama.
                Setelah dilakukan proses pembelajaran dan postes, maka diperoleh hasil sebagai berikut.
             Untuk menguji apakah terdapat perbedaan rerata peningkatan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka dilakukan uji perbedaan rerata peningkatan kemampuan komunikasi matematik untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol.
             Adapun hasilnya, adalah sebagai berikut.
: Kelas eksperimen
: Kelas kontrol

                Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hitung t > tabel t , sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif Tipe STAD lebih tinggi secara signifikan pada = 0,05 daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
                 Sedangkan respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi koperatif Tipe STAD adalah positif, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, rerata skor sikap dari ketiga aspek yang diukur lebih besar dibandingkan dengan rerata skor netralnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi kooperatif Tipe STAD adalah positif.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat
pembelajaran kooperatif Tipe STAD lebih tinggi secara signifikan pada = 0,05
daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
2. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran kooperatif Tipe STAD adalah positif.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas (2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., dan Ismono. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA-University Press.
Karli, H dan Yuliariatiningsih, M.S. (2002). Implementasi KBK 2. Jakarta: Bina Media Informasi.
Kramarski, B. (2000). “The Effect of Different Instructional Methods on The Ability to Communicate Mathematical Reasoning”. Dalam Nakahama, T dan Koyama, M. Proceeding of The 24th Conference of the International Group for The Psychology of Mathematics Education. Hiroshima: Hiroshima Univercity.
Lim, L dan Pugalee, D.K. (2005). Using Journal Writing to Explore “They Communicate to Learn Mathematics and They Learn to Communicate Mthematically”. [Online]. Tersedia: http://www.nipissingu.ca.oar/new_issue-V722E.htm. [29 Januari 2006].
Peressini, D dan Bassett, J. (1996). “Mathematical Communication in Student’s Responses to a Performance-Assesment Task”. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.
Polla, G. (1999). Effort to Increase Mathematics for All through Communication in Mathematics Learning.[Online].
Tersedia: http://72.14.203.104/search?q=cache:IVSmQCvwl-4J:
www.icmc-organisers.dk/dg03/dg03/Gerardus.doc+gerardus+
polla%2Bin+mathematics&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=5.
[12 Februari 2005].
Priatna, N. (2003). “Teknik Probing dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Siswa SLTP”. Proceeding National Seminar on Science and Mathematics Education, the Role of IT/ICT in Supporting the Implementation of Competensy-Based Curriculum. Bandung: JICA-IMSTEP.
Purniati, T. (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-tahap Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP. Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.
Rohaeti, E.E. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode Improve untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP. Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.
Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning Theory, Research, and Practice Needham Heigts. Massachusetcs: Allyn dan Bacon.
Sudrajat (2001). Penerapan SQ4R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk Peningkatan Kemampuan Komunikasi dalam Matematika Siswa SMU. Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.
Suharsimi-Arikunto (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Utari-Sumarmo (2005). “Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah”. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika di FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.


BIODATA PENULIS
Nama : Isrok’atun, S.Pd.Si., M.Pd
NIP : 19810528 200801 2 011
Gol/Jabatan : III b/ Asisten Ahli
TTL : Kebumen, 28 Mei 1981
Em@il : byoewono@yahoo.com
HP : 08157017410
Unit Kerja : UPI Kampus Serang
Alamat Kerja : UPI Kampus Serang
Jl. Ciracas, Serang.
Telp/Fax. (0254) 200277
Alamat Rumah : Perumahan Ciceri Permai Tahap IV
Jl. Galunggung No. 12, RW 20, Serang

Pengaruh Model Pembelajaran Knisley terhadap Peningkatan Pemahaman Matematika Siswa SMA IPA

Pengaruh Model Pembelajaran Knisley
terhadap Peningkatan Pemahaman Matematika Siswa SMA IPA
Oleh:
Endang Mulyana
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung

Abstrak
Kurikulum 2006, menuntut siswa melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Model Pembelajaran Matematika Knisley (MPMK) berpotensi sebagai model pembelajaran yang dapat memenuhi tuntutan tersebut. Penelitian ini bertujuan memperoleh bukti empirik tentang pengaruh MPMK terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa kelas XI SMA program IPA. Dari penelitian ini diperoleh (1) pada sekolah level bawah, MPMK berpengaruh baik terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa; (2) pada sekolah level sedang, MPMK berpengaruh baik terhadap peningkatan conceptual understanding, pada sekolah level bawah dan pada seluruh level sekolah, MPMK berpengaruh baik terhadap conceptual understanding dan adaptive reasoning siswa; (3) tidak terjadi interaksi antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan pemahaman matematika, tetapi terjadi interaksi antara model pembelajaran (MPMK dan MPMB) dan level sekolah (Atas, Sedang dan Bawah) yang berarti dalam peningkatan procedural fluency dan adaptive reasoning.

ABSTRACT
Curriculum 2006 require students doing exploration, elaboration, and confirmation during learning process, and Knisley Mathematics Learning Model seems potentially fulfill its requirements. This study is aimed at gathering empirical evidence on the application of Knisley Mathematics Learning Model in enhancing the mathematical understanding of high school students of mathematics and science class (SMA-IPA).
The findings show that (1) at low quality high schools, Knisley Mathematics Learning Model has good effects on the improvement of students’ mathematical understanding; (2) at middle quality high schools, Knisley Model has good effects on the improvement of students’ conceptual understanding, at low quality high schools, Knisley Model has good effects on the improvement of students’ conceptual understanding and adaptive reasoning, at all quality high schools, Knisley Model has good effects on the improvement of students’ conceptual understanding and adaptive reasoning; (3) there is no interaction between learning model and school quality in the improvement of the students’ mathematical understanding, but learning model and school quality contribute to the students’ procedural fluency and adaptive reasoning.

A. Pendahuluan
           Indonesia adalah sebuah negara berkembang dengan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) menempati peringkat 110 di dunia, dan masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Tahiland, Phillippine, dan Vietnam (Hendayana, 2006). Untuk meningkatkan mutu SDM, pemerintah mencoba mereformasi pendidikan dengan mengubah paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran, seperti yang tertuang dalam Kurikulum 2006 (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
Proses pembelajaran untuk mencapai semua kompetensi matematika tersebut diupayakan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik dan mata pelajaran melalui aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam melaksanakan aktivitas tersebut dapat dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang, sehingga memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
Model penyajian materi atau model pembelajaran dan guru merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. An, Kulm dan Wu (2004) mengemukakan, “Teachers and teaching are found to be one of the factors majors related to students’ achievement in TIMSS and others studies” ( h. 146). Guru dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya diharapkan dapat memilih atau mengembangkan model pembelajaran dan menciptakan suasana pembelajaran di dalam kelas sehingga prosedur pembelajaran berjalan sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya.
Salah satu model pembelajaran yang selaras dengan proses pembelajaran yang dituntut Kurikulum 2006 adalah model pembelajaran yang dikembangkan oleh Knisley (2003), pembelajaran matematika yang terdiri dari empat tahap, selanjutnya disebut Model Pembelajaran Knisley (MPK). Adapun tahap-tahap pembelajaran itu adalah sebagai berikut.
1. Kongkrit–Reflektif: Guru menjelaskan konsep secara figuratif dalam konteks yang familiar berdasarkan istilah-istilah yang terkait dengan konsep yang telah diketahui siswa.
2. Kongkrit-Aktif: Guru memberikan tugas dan dorongan agar siswa melakukan eksplorasi, percobaan, mengukur, atau membandingkan sehingga dapat membedakan konsep baru ini dengan konsep – konsep yang telah diketahuinya.
3. Abstrak–Reflektif: Siswa membuat atau memilih pernyataan yang terkait dengan konsep baru, memberi contoh kontra untuk menyangkal pernyataan yang salah, dan membuktikan pernyataan yang benar bersama-sama dengan guru.
4. Abstrak–Aktif: Siswa melakukan practice (latihan) menggunakan konsep baru untuk memecahkan masalah dan mengembangkan strategi.
             Dalam Kurikulum 2006, terdapat lima kompetensi yang ingin dicapai melalui mata pelajaran matematika yaitu empat aspek dalam ranah kognitif dan satu aspek dalam ranah afektif. Berdasarkan tingkat pemahaman matematika dari Kinach (2002), kompetensi matematika dalam ranah kognitif termasuk pemahaman matematika. Aspek-aspek pemahaman matematika menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001), yaitu, conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, dan adaptive reasoning.
B. Rumusan Masalah
               Berdasarkan kajian latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian ini diuraikan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut.
1. Adakah perbedaan peningkatan pemahaman matematika siswa kelas XI SMA IPA yang pembelajarannya menggunakan Model Pembelajaran Knisley (MPK) dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan Model Pembelajaran Biasa (MPB) ditinjau dari (a) level sekolah (b) keseluruhan sekolah?
2. Adakah perbedaan peningkatan untuk masing-masing aspek conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, dan adaptive reasoning siswa kelas XI SMA IPA yang pembelajarannya menggunakan MPK dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan MPB ditinjau dari (a) level sekolah, (b) keseluruhan?
3. Adakah interaksi antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan (a) pemahaman matematika, dan (b) masing-masing aspek pemahaman matematika.

C. Kajian Teoritis
     Pemahaman Matematika
              Tingkat-tingkat pemahaman suatu disiplin ilmu menurut Perkins dan Simmons (1988) terbagi ke dalam empat tingkatan, “ four interlocked levels of knowledge : the content frame, the problem-solving frame, the epistemic frame, and the inquiry frame “ (h. 305). Selanjutnya Kinach (2002), merekonstruksi klasifikasi pemahaman dari Skemp untuk memodifikasi levels of disciplinary understanding sehingga terdapat lima tingkatan pemahaman yaitu, “ content, concept, problem solving, epistemic, and inquiry” (h. 157).
            Kinach (2002), memodifikasi tingkat pemahaman dari Perkins dan Simmons untuk bidang matematika menjadi enam level pemahaman dengan menguraikan content frame menjadi dua tahap pemahaman yaitu content-level understanding (tahap pemahaman konten) dan concept level of disciplinary understanding (tahap pemahaman konsep). Tahap pemahaman konten terkait dengan kemampuan memberikan contoh–contoh yang benar tentang kosa kata (istilah dan notasi), mengingat fakta-fakta dasar, dan terampil menggunakan algoritma atau mereplikasi strategi berpikir dalam situasi tertentu yang telah diajarkan sebelumnya. Pengetahuan pada tahap ini adalah pengetahuan yang “diterima” siswa, diberikan kepada mereka dalam bentuk informasi atau keterampilan yang terisolasi, bukan diperoleh siswa secara aktif. Pemahaman seperti itu merupakan pemahaman matematika yang paling dangkal.
Tingkat pemahaman konsep setingkat lebih tinggi dari pemahaman konten , dimana siswa terlibat aktif mengidentifikasi, menganalisis dan mensintesis pola-pola serta saling keterkaitan dalam memperoleh pengetahuan. Ciri-ciri dari tingkat pemahaman ini adalah kemampuan mengidentifikasi pola, menyusun definisi, mengaitkan konsep yang satu dengan yang lain.
              Tiga tahap pemahaman berikutnya dari Kinach (2002), yaitu problem- solving level understanding (tahap pemahaman pemecahan masalah), epistemic-level understanding (tahap pemahaman epistemik) dan inquiry-level understanding (tahap pemahaman inkuiri), masing-masing setara dengan masing-masing kerangka tingkat pemahaman dari Perkins dan Simmons yaitu, problem-solving frame, epistemic frame dan inquiry frame. Tingkat pemahaman pemecahan masalah, diartikan sebagai alat analisis dan metode ilmiah dan pebelajarmenggunakannya untuk mengajukan dan memecahkan masalah dan dilemna matematika. Ciri dari tingkat pemahaman pemecahan masalah adalah kemampuan berpikir menemukan suatu pola, working backward (bekerja mundur), memecahkan suatu masalah yang serupa, mengaplikasikan suatu strategi dalam situasi yang berbeda atau menciptakan representasi matematika ke dalam fenomena fisik atau sosial.
         Tingkat pemahaman epistemik, diartikan sebagai memberikan bukti –bukti yang sahih dalam matematika, termasuk strategi dalam menguji suatu pernyataan matematika. Pemahaman pada tingkat epistemik ini menguatkan cara berpikir yang digunakan pada tingkat pemahaman konsep dan pemecahan masalah. Tingkat pemahaman inkuiri, diartikan sebagai menurunkan pengetahuan atau teori yang benar-benar baru, bukan menemukan kembali. Pemahaman inkuiri meliputi keyakinan dan strategi, baik secara umum maupun khusus dalam bekerja untuk memperluas pengetahuan.
          Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kompetensi matematika yang menjadi tujuan pendidikan matematika di sekolah menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001) yang termasuk ranah kognitif adalah conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence , dan adaptive reasoning. Bila ditinjau dari level pemahaman menurut Perkins dan Simmons, conceptual understanding dan procedural fluency setara dengan content frame, sedangkan strategic competence setara dengan problem-solving frame, dan adaptive reasoning setara dengan epistemic frame. Kinach (2002) berpendapat, bahwa pemahaman instrumental dari Skemp setara dengan content-level understanding (tingkat pemahaman konten), sedangkan pemahaman relasional meliputi pemahaman konsep, pemecahan masalah, dan pemahaman epistemik, tidak termasuk pemahaman inkuiri.
    Model Pembelajaran Knisley (MPK)
               MPK dikembangkan atas teori gaya belajar dari Kolb yang berpendapat, a student’s learning style is determined by two faktors – whether the student prefers the concrete to the abstract, and whether the sudent prefers active experimentation to reflective observation (dalam Knisley, 2003). Kedua dimensi gaya belajar ini menghasilkan empat gaya belajar yaitu, Concrete, reflective: Those who build on previous experience. Concrete, active: Those who learn by trial and error. Abstract, reflective: Those who learn from detailed explanations. Abstract, active: Those who learn by developing individual strategies. (Hartman dalam Knisley, 2003, h. 2).
                Korespondensi antara gaya belajar Kolb dan aktivitas pebelajar menurut interpretasi Knisley (2003), terlihat seperti pada Tabel 2.1.




               Gaya belajar kongkrit-reflektif, berkorespondensi dengan aktivitas pebelajar sebagai allegorizer, gaya belajar kongkrit-aktif, berkorespondensi dengan aktivitas pebelajar sebagai integrator, gaya belajar abstrak-reflektif berkorespondensi dengan aktivitas pebelajar sebagai analiser, dan gaya belajar abstrak-aktif berkorespondensi dengan aktivitas pebelajar sebagai sinteser.
Pada tiap-tiap tahapan pembelajaran guru memiliki peran yang berbeda-beda. Ketika siswa melakukan kongkrit-reflektif guru bertindak sebagai seorang storyteller (pencerita), ketika siswa melakukan kongkrit-aktif guru bertindak sebagai seorang pembimbing dan motivator, ketika siswa melakukan abstrak-reflektif siswa bertindak sebagai nara sumber, dan ketika siswa melakukan abstrak–aktif guru bertindak sebagai coach (pelatih). Pada setiap tahap pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk bertanya, dan guru mungkin langsung menjawabnya, mengarahkan aktivitas untuk memperoleh jawaban, atau meminta siswa lain untuk menjawabnya.
                Menurut Smith (2001), tiap-tiap gaya belajar tersebut dilakukan oleh bagian otak yang berbeda. Pada saat melakukan gaya belajar kongkrit-aktif yang bekerja adalah the sensory cortex of the brain (sensor permukaan otak) dengan masukan melalui pendengaran, penglihatan, perabaan dan gerakan badan. Pada saat melakukan kongkrit-reflektif sebagai aktivitas internal, yang bekerja adalah otak bagian kanan yang menghasilkan keterkaitan dan keterhubungan yang diperlukan untuk memperoleh pemahaman. Bagian otak kiri akan bekerja pada saat melakukan abstrak-reflektif sebagai aktivitas mengembangkan interpretasi dari pengalaman dan refleksi. Gaya belajar abstrak–aktif merupakan tindakan eksternal, untuk melakukannya perlu menggunakan motor brain (otak pengerak). Oleh karena itu pembelajaran matematika yang mengembangkan setiap gaya belajar berarti mengaktifkan semua bagian otak sehingga pembelajar menjadi lebih efektif.

D. Pembahasan
              Data diperoleh dari 234 subyek penelitian dengan sebaran seperti terlihat pada Tabel 1 berikut.
                Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian, diperoleh bahwa untuk seluruh level sekolah MPK tidak berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman matematika, MPK berpengaruh baik terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa pada sekolah level bawah. Pada sekolah level sedang, MPK berpengaruh baik terhadap peningkatan conceptual understanding, dan pada sekolah level bawah MPK berpengaruh baik terhadap conceptual understanding dan adaptive reasoning. Tidak ada interaksi yang bermakna antara model pembelajaran dan level sekolah dalam peningkatan pemahaman matematika, interkasi kedua faktor tersebut terjadi secara bermakna dalam peningkatan procedural fluency dan adaptive reasoning.
               MPK berpengaruh baik terhadap peningkatan pemahaman matematika pada sekolah level bawah, selain pelaksanan MPK pada kelas eksperimen dengan suasana yang sangat kondusif. Kebersamaan antara siswa sangat menonjol, setiap siswa sepertinya siap membantu kesulitan yang dihadapi temannya. Sesama siswa terlihat sangat akrab, begitu pula dengan gurunya tanpa meninggalkan sopan santun. Sebagian siswa berasal dari keluarga sederhana, sehingga diantara mereka tidak memiliki buku sumber. Mereka merasa terbantu ketika memperoleh bahan ajar yang sengaja diberikan untuk keperluan penelitian. Motivasi belajar mereka matematika cukup tinggi secara merata, hal diduga karena kepribadian gurunya yang dapat membangkitkan motivasi extrinsic siswa (Eggleton. 1991).
                Guru pada kelas eksperimen dari sekolah level bawah, memiliki kepribadaian yang cukup istimewa. Beliau seorang yang sangat ramah yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dengan ekspresi muka cerah dan senyuman, serta tutur bahasa yang santun. Ia menunjukkan antusias terhadap matematika dan pembelajarannya yang diperlihatkan dalam diskusi-diskusi kecil di antara guru-guru matematika dan peneliti dalam mengisi waktu sebelum atau sesudah melaksanakan pembelajaran. Hal ini tidak dimiliki oleh guru yang melakukan pembelajaran di kelas eksperimen pada sekolah level atas dan level bawah.
                 Dari uraian di atas, bahwa kepribadian guru turut menentukan pengaruh MPK terhadap peningkatan pemahaman matematika. Oleh karena itu, untuk penelitian pengaruh model pembelajaran, kepribadian guru sebagai pelaksana, mesti menjadi pertimbangan. Kepribadian guru pelaksana pada kelas eksperimen dan kelas kontrol selayaknya relatif setara.
Pengaruh baik MPK yang signifikan terhadap conceptual understanding siswa, diakibatkan oleh prosedur pembelajaran MPK yang memang lebih menekankan kepada pemahaman konsep. Dalam pelaksanaan pembelajaran suatu topik matematika, dua tahap pertama yaitu tahap kongkrit-reflektif dan tahap kongkrit-aktif siswa diajak memahami konsep secara relatif mendalam. Pada tahap kongkrit-aktif siswa diajak untuk mengingat kembali konsep yang telah dipelajari yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Kemudian guru menjelaskan konsep baru yang didasarkan atas konsep yang telah diketahui siswa. Konsep baru dijelaskan bukan hanya melalui kata-kata/definisi, simbol, juga melalui ilustrasi grafik.
                 Pengaruh baik MPK yang signifikan terhadap adaptive reasoning, karena MPK mengembangkan penalaran siswa dalam semua tahapan pembelajaran. Pada tahap kongkrit-reflektif, guru memunculkan konsep baru dengan mengaitkannya konsep yang telah diketahui siswa. Pada tahap kongkrit-aktif, siswa menyelesaikan soal-soal terapan sederhana dari konsep tanpa diberi contoh atau dengan contoh yang sesedikit mungkin. Ini dimaksudkan agar siswa menggunakan penalaran dalam memahami konsep dan membuat konjektur tentang sifat-sifat konsep baru tersebut. Pada tahap abstrak-reflektif siswa belajar penalaran induktif maupun deduktif melalui penjelasan guru ketika menunjukkan kebenaran sifat-sifat konsep atau aturan-aturan yang berkaitan dengan konsep tersebut. Selanjutnya pada tahap abstrak-kongkrit siswa dituntut mengembangkan penalarannya dalam memecahkan persoalan-persoalan. Hal ini diduga menjadi penyebab MPK berpengaruh baik terhadap adaptive reasoning siswa.
              Terdapat interaksi yang bermakna antara model pembelajaran dan level sekolah terhadap procedural fluency siswa. Pada sekolah level atas MPMK berpengaruh baik, pada sekolah level sedang berpengaruh kurang baik, dan dan tidak ada pengaruhnya terhadap procedural fluency siswa. Hal ini diduga diakibatkan oleh kurangnya alokasi waktu tahap abstrak-aktif, karena alokasi waktu tersebar dalam empat tahap yang berbeda. Dilain pihak, proses pembelajaran dalam MPB lebih berorientasi kepada berlatih ketrampilan prosedur. Proses belajar lebih didominasi dengan mempelajari contoh-contoh penyelesaian soal dan latihan menyelesaikan soal, sementara penjelasan konsep dan pembuktian tentang aturan sering diabaikan.

E. Kesimpulan, Implikasi dan Rekomendasi
               Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. (1) Penggunaan MPK pada siswa kelas XI SMA IPA berpengaruh baik secara bermakna terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa yang berasal dari sekolah level bawah. Tetapi pada sekolah level atas dan sedang juga secara keseluruhan tidak ada pengaruhnya. (2) Penggunaan MPK pada siswa kelas XI SMA IPA berpengaruh baik secara bermakna terhadap peningkatan conceptual understanding siswa yang berasal dari sekolah level sedang dan bawah, Juga berpengaruh baik secara bermakna terhadap adaptive reasoning siswa yang berasal dari sekolah level bawah. Secara keseluruhan, MPK berpengaruh baik secara bermakna terhadap conceptual understanding dan adaptive reasoning. (3) tidak terjadi interaksi antara model pembelajaran (MPK dan MPB) dengan level sekolah (Atas, Sedang dan Bawah) yang berarti dalam peningkatan pemahaman matematika siswa kelas XI SMA IPA. Interaksi model pembelajaran dan level sekolah terjadi secara bermakna dalam peningkatan procedural fluency dan adaptive reasoning.
           Implikasi dari kesimpulan adalah sebagai berikut. (1) Pada sekolah level atas dan level sedang, penggunaan MPK dengan waktu yang cukup lama diduga berpengaruh baik terhadap pemahaman matematika siswa kelas XI SMA IPA. (2) Pengaruh baik MPK terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa kelas XI SMA IPA pada sekolah level bawah, diduga dipengaruhi oleh kompetensi kepribadian dan sosial (kepribadian) guru. (3) Konsep-konsep matematika di SMA dapat direpresentasikan secara figuratif, dengan demikian penggunaan MPK diduga dapat berpengaruh baik terhadap peningkatan pemahaman matematika siswa dalam setiap topik matematika di SMA.
              Dari hasil penelitian ini, dapat direkomendasikan hal-lah berikut. (1) Agar pelaksanaan MPK berhasil dalam setiap aspek pemahaman, direkomendasikan perlu mengatur alokasi waktu yang telah ditetapkan untuk bagi tiap-tiap tahap pembelajaran secara proporsional, sehingga cukup waktu untuk melaksanakan tahap kongkrit-aktif dan abstrak-aktif. Selain itu, direkomendasikan pula untuk menggunakan metode yang telah diyakini keunggulannya dan relevan untuk masing-masing tahap pembelajaran, seperti metode diskusi kelompok ketika melaksanakan tahap abstrak-aktif. (2) Untuk mendapat gambaran yang komprehensif dan akurat tentang pengaruh MPK terhadap pemahaman matematika, direkomendasikan perlu penelitian lanjutan tentang MPK terhadap siswa kelas XI SMA IPA sejak semester pertama, serta mempertimbangkan kesetaraan kompetensi guru pelaksana penelitian. Kompetensi guru, khususnya kompetensi kepribadian dan sosial guru merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan MPK. (3) Konsep-konsep pada topik matematika SMA dapat disajikan secara figuratif, sehingga direkomendasikan untuk melakukan kajian penggunaan MPK untuk topik-topik lain yang dipelajari di SMA. (4) Kepada para pengambil kebijakan, untuk melakukan sosialisasi tentang model/pendekatan pembelajaran matematika di SMA yang sejalan dengan Kurikulum 2006, yaitu mendorong siswa guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, dan salah satunya adalah MPK.


Daftar Pustaka

An, S., Kulm, G., dan Wu, Z. (2004). The Pedagogical Content Knowledge
of Middle School. Mathematics Teachers in China and The U.S.
Journal of Mathematics Teacher Education, 7, 145-172.
Departemen Pendidikan Nasional (2007). Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia:
http://www.bsnp-indonesia.org/standards-proses.php.
Departemen Pendidikan Nasional (2006). Kurikulum Satuan Tingkat
Pendidikan,Jakarta: Depdiknas.
Eggleton, P. J. (1991). Motivation: A Key to Effective Teaching.
The Mathematics Vol.3 (2). 12 halaman Tersedia: Http//Math.
Coe. Uga.edu/
Hendayana, dkk. (2006). Lesson Study. Suatu Strategi untuk
Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-
JICA). Bandung: UPI Press.
Hiebert, J. & Carpenter P. T. (1992). Learning and Teaching with
Understanding. Dalam D. A. Grouws (Ed.) Handbook of Research
on Mathematics Teaching and Learning. (h. 65 – 100).New York:
Macmillan Publishing Company.
Kilpatrick, J.,Swafford, J.,& Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Washington, DC: National Academy Press.
Kinach, M., B. (2002). Understanding and Learning to Explain by
Representing Mathematics: Epistemological Dilemmas Facing
Teacher Educators in the Secondary Mathematics “Method” Course.
Journal of MathematicsTeacher Education, 5, 153-186.
Knisley, J. (2003). A Four-Stage Model of Mathematical Learning. Dalam
Mathematics Educator [Online], Vol 12 (1) 10 halaman. Tersedia:
http//Wilson Coe.uga.edu/DEPT/TME/Issues/ v12n1/ 3knisley.
HTML.
Perkins, D. N. & Simmons, R. (1988). Patterns of Misunderstanding: An
Integrative Model for Science, Math, and Programming. Review of
Educational Research, Vol. 58, No. 3 (Autumn, 1988), 303-326.

Las series más vistas

Pengikut

Teman Rizma

Lainnya